Back to blog

Tears in Heaven

22 January 2016 - Posted in depresi Posted by:

Kemarin saya browsing youtube, mencari video yang menarik. Apa saja. Ini kebiasaan baru saya satu bulan terakhir. Awalnya saya mulai dari lagu Feeling Good dari Nina Simone, tahun 60an. Lalu dari situ saya mulai mencari-cari lagu blues yang lain. Setelah beberapa lagu dari berbagai artis blues, saya search Eric Clapton. Ada beberapa lagu yang saya kenali. Salah satunya Tears in Heaven.

Kalau belum tau latar belakang lagu Tears in Heaven saya akan ceritakan. Di tahun 1991, Connor Clapton, anak Eric Clapton, jatuh dari apartemen lantai 54. Setelah itu Eric jatuh depresi dan mengisolasi diri. Setelah 7 bulan, Eric diminta menulis lagu untuk sebuah film berjudul Rush. Pada saat menonton kembali film tersebut Eric merasa ada momen yang pas di film yang memerlukan sebuah lagu. Eric pun mulai menulis Tears in Heaven dibantu temannya.

Saat mendengarkan kembali lagu tersebut saya tiba-tiba menghayati lirik lagu. Tanpa bisa saya kendalikan, saya kemudian menagis cukup lama. Menutup pintu kamar, lalu duduk membelakangi pintu. Tanpa ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut saya karena saya tidak mau ada yang mendengar. Tidak orang tua saya. Tidak tetangga saya.

Saya menangis karena saya mengingat masa saya mencoba bunuh diri. Lengkap dengan apartemen yang dulu saya tinggali beserta furniture nya. Pisau daging yang saya pegang semalaman. Puluhan pesan dan telepon dari teman sekelas saya yang saya abaikan. Tengah malam di kota Malmo, Swedia. Dan yang paling terasa, perasaan dibuang seperti sampah yang memicu depresi yang saya derita.

Saya menangis karena sebulan terakhir saya mengalami relaps. Depresi kembali menghampiri saya. Padahal sebelumnya saya sedang mengalami perbaikan dan akan bebas obat dalam dua bulan. Saya mengalami kembali sulit tidur. Saya mulai menutup mata di atas kasur jam 10 tapi baru bisa tertidur jam 4 atau 5 pagi. Satu bulan penuh. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan satu hari sebelum mulai kerja. Saya berhenti lari karena sangat sulit untuk bangun pagi, dan sangat sulit untuk beranjak dari kasur. Persis seperti ketika dulu pertama kali mengalami depresi. Padahal saya sedang berinisiatif memulai komunitas depresi untuk membantu penderita depresi yang lain. Saya berteriak dalam hati puluhan kali, “f***”. 2016 bukannya memulai hal baru, tapi kembali ke sumur dalam yang pernah lama saya tempati.

 

Tulisan saya yang lainnya tentang depresi dapat dibaca di tautan berikut: klik disini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *