Selain harus berjuang melawan depresi, saya juga harus menghadapi persepsi orang lain tentang depresi, terutama orang-orang terdekat. Orang-orang selalu menyebutkan tentang pendidikan saya sebagai dokter dan S2 lulusan luar negeri. Pada awalnya malah banyak yang berusaha meyakinkan saya bahwa saya baik-baik saja, bahwa luka dan kesedihan yang saya alami adalah sementara dan akan segera membaik. Saya memahami betapa sulitnya memahami apa itu depresi jika belum pernah mengalaminya. Sulit memang menggambarkan kesedihan dan luka yang luar biasa yang membuat seseorang (termasuk saya) berpikir bahwa kematian adalah satu-satunya solusi. Kita merasa lumrah jika mendengar patah tulang, kanker hati, tapi tidak biasa dengan otak yang sakit.
Jika saya mengatakan saya mengidap HIV/AIDS, mungkin orang mengira saya pengguna narkoba jarum suntik, atau pelanggan pekerja sex, atau dianggap tidak layak bekerja, atau dihindari semua orang karena takut tertular. Itu adalah stigma sosial. Jika saya depresi, saya mungkin dikira lemah, memalukan atau kurang beribadah, atau kurang berusaha, atau antisosial, atau berbahaya bagi orang lain, dan lain-lain. Saya seringkali dinilai seperti itu. Keluarga saya juga tidak bercerita kalau saya depresi. Ini juga stigma sosial. Saya juga memiliki stigma sosial terhadap diri saya sendiri. Saya malu karena saya lemah, bahwa orang-orang akan membicarakan betapa lemahnya saya. Stigma sosial membuat saya semakin mengurung diri sendiri dan tidak mencari pertolongan selama dua bulan. Saat mulai menulis blog tentang depresi saya diliputi rasa takut, bagaimana jika tidak ada yang mempekerjakan saya karena dianggap memiliki cacat mental?
Saya kemudian mencoba memahami stigma sosial depresi dan dampaknya. Saya mencoba mengingat kembali bagaimana respon publik terhadap video Marshanda dahulu. Marshanda menjadi bulan-bulanan selama bertahun-tahun. Sampai sekarang pun masih sering terjadi. Betapa luar biasa stigma sosial terhadap depresi. Keberadaan media ternyata malah memperburuk stigma yang muncul. Berbagai artikel tentang depresi di internet yang saya temukan sangat keliru menggambarkan apa itu depresi sehingga menyebarluaskan stigma sosial. Saya beruntung karena ketika saya membuka diri tentang kondisi saya, saya malah mendapatkan dukungan moral yang sangat banyak walaupun stigma sosial masih jelas ada di sebagian orang. Untungnya saya sudah melewati tahap bersembunyi dan menyendiri, seehingga saya tidak kembali menjadi diri saya yang mengurung diri di kamar. Banyak pula teman saya yang pernah depresi yang bercerita tentang stigma sosial saat mereka harus berjuang melawan depresi.
Oleh karenanya saya memilih menyebut saya menderita depresi. Saya tidak memiliki depresi, tapi saya menderita depresi. Itu adalah dua kalimat yang sangat berbeda. Karena depresi adalah sebuah penyakit. Siapapun bisa menderita depresi tanpa memperhatikan pendidikan, status sosial-ekonomi, dan agama. Siapapun bisa menderita depresi bahkan jika semua dalam hidup terasa baik-baik saja.
Saya memulai blog ini awalnya karena saya sudah tidak perduli lagi dengan hidup, apalagi komentar orang lain mengenai saya. Saya memulai blog ini sebagian adalah karena saya ingin melawan stigma sosial yang muncul di masyarakat. Saya ingin membantu memperkenalkan apa itu depresi, dari sudut pandang penderitan, agar banyak orang memahami depresi adalah sebuah penyakit. Agar kemudian orang yang menderita depresi dapat mendapatkan pertolongan yang layak dan dukungan yang sesuai. Agar menemui psikiater dapat dianggap hal yang lumrah, seperti halnya menemui dokter.