Back to blog

Persamaan lari dan depresi

17 November 2015 - Posted in depresi Posted by:

Saya mulai berlari sejak dua bulan yang lalu sebagai bagian dari terapi untuk depresi. Depresi membuat saya kehilangan tujuan, bahkan untuk sekedar hidup pun. Dengan berlari, saya mulai menata hidup saya kembali, dalam skala kecil. Setidaknya tiga kali dalam seminggu saya punya tujuan untuk bangun tidur dan keluar rumah kemudian melakukan aktifitas beberapa puluh menit. Terlihat sepele, tapi saat depresi menyerang beranjak dari kasurpun adalah sebuah perjuangan yang teramat berat. Dan saya tidak berbicara menggunakan majas hiperbola.

Saat saya memutuskan untuk mencoba berlari, saya meragukan diri saya. Semenjak TK saya selalu menjadi murid yang paling lemah ketika pelajaran olahraga. Saya selalu dibully (ejek) karena penampilan fisik saya yang sangat kurus. “Pak, si Endri jangan ikutan lari takut mur lututnya lepas”. Kurang lebih seperti itulah keseharian saya bersama teman-teman semasa TK, SD, dan SMP. Saya tidak sanggup berlari satu keliling lapangan sepak bola. Napas saya akan tersengal-sengal, dada saya sesak, kaki terasa berat. Tidak jarang saya menjadi pucat lalu kemudian pingsan.

Jadi saya terus mengulur-ngulur aktifitas lari saya yang pertama. Alasan utamanya adalah karena depresi membuat saya tertahan di rumah. Tapi alasan lain yang tak kalah penting adalah saya tidak yakin saya sanggup. Tiga minggu lamanya saya berkelit dengan berbagai alasan. Belum punya sepatu lari. Belum menemukan sepatu yang saya suka untuk dibeli. Malas keluar rumah untuk beli sepatu. Dan seterusnya.

Sampai waktunya saya berlari untuk pertama kalinya. Ditemani seorang teman yang sudah terhitung atlet lari. Dan betul dugaan saya, ga lama kemudian dada terasa sesak. Saya berhenti melangkah untuk minum. Lalu jalan kaki perlahan sambil mengumpulkan kembali tenaga. Saya berlari lagi untuk tak lama kemudian berhenti. Kali ini tidak saya lanjutkan. Saya menyerah. Saya tidak sanggup. Sial!

Sambil terduduk malu dan bernafas lega saya diberi tahu teman saya ada aplikasi untuk android. “From couch potatoes to 5K”, aplikasi untuk para pemula yang tidak pernah berolah raga sama sekali. Meski pesimis, saya download juga aplikasinya. Seminggu berikutnya saya tidak berlari lagi karena kaki saya sakit-sakit semua setelah berolah raga. Sakit itu bertahan selama 4 hari.

Percobaan kedua berlari. Kali ini ditemani aplikasi c25k di handphone saya. Program latihan lari ini dibagi kedalam 9 minggu. Dalam 9 minggu itu saya dijanjikan akan sanggup berlari sejauh 5KM tanpa henti dalam waktu 30 menit. Setiap minggunya saya harus berlari tiga kali. Intensitas latihannya semakin meningkat. Sebagai gambaran, di minggu pertama dimulai dengan jalan kaki 5 menit, lalu bergantian lari 60 detik, jalan kaki 90 detik selama 20 menit, lalu diakhiri jalan kaki 5 menit. Terlihat mudah. Saya pun merasa saya sanggup menyelesaikannya. Tapi ternyata berat juga. Di menit-menit akhir nafas dan kaki mulai terasa amat berat. Si pembuat software tampaknya mengerti karena mendekati akhir ada suara “Come on, you can do it!” keluar dari handphone saya. Fyuh. Padahal tadinya mau berhenti saja.

Dua bulan kemudian saya masih berlari, kali ini sudah tanpa interval jalan kaki. Hanya lari saja, non stop. Disinilah letak persamaan antara lari dan depresi. Setiap menjelang garis finish rasanya ingin berhenti. Kaki sudah terlalu berat melangkah. Nafas tak beraturan. Tak jarang lutut dan telapak kaki mulai terasa sakit. Berhenti saja. Toh di garis finish tidak ada yang menyoraki atau mengucapkan selamat. Tidak ada medali. Tidak ada hadiah. Berlari sampai titik sebelum finish pun sudah sehat koq. buat apa memaksakan diri? Buat apa menyiksa diri. Dengar suara kaki yang ingin berhenti. Just stop!

Begitupun depresi. Berhenti saja. Sudah sampai disini saja. Sudah cukup jauh, saya luar biasa sudah bertahan sampai sekarang. Biarkan hidup berakhir. Akhiri penderitaan ini. Jangan dengarkan orang lain, ini hidup saya. Orang lain tidak bisa merasakan penderitaan ini. Tidak ada medali untuk hidup sehari lagi. Awalnya pasti semua orang menyayangkannya, tapi itu hanya sementara. Hidup mereka akan terus berlanjut.

Setiap kali saya ingin berhenti berlari, kaki saya tetap melangkah cepat. Satu langkah lagi saja. Satu tarikan nafas lagi saja. Terus seperti itu hingga garis finish. Bukan untuk medali karena saya tahu tidak ada medali. Bukan untuk apa-apa. Saya hanya berusaha tiba di garis finish. Dan saya selalu bisa! Saya yang selama ini paling lemah selalu tiba di garis finish. Saat hendak mulai berlari pagi tadi, saya melihat layar hp saya. Hari ini saya harus berlari tanpa henti selama 22 menit padahal sebelumnya berlari diselingi jalan kaki saja saya hampir menyerah. Tapi saya ternyata sanggup bertahan hingga garis finish. Tak lama lagi saya akan sanggup berlari 5 km tanpa henti. Kemudian target berikutnya 10 km, lalu half marathon (21 km). Saya pasti sanggup.

Sudah hampir enam bulan saya menderita depresi. Artinya sudah enam bulan saya bertahan untuk hidup sehari lagi. Terus seperti itu selama enam bulan. Setiap malam saya berkata saya akan tidur, besok entah bagaimana. Saat bangun lalu saya bertahan hingga makan siang, lalu makan malam, lalu tidur dan bangun lagi.

Dan setelah enam bulan, mulai tumbuh semangat lagi. Hari ini saya melamar kerja. Saya ingin berkarya lagi. Saya ingin berguna lagi.

2 Comments

eric agustian 8 years ago

hai endri,

saya pernah komen di artikelmu yang lain, saya juga sedang depresi, kalau diurut2 sudah lama kayaknya cuma baru sekarang2 aja mulai mengenali bahwa itu depresi..

saya juga 2 minggu ini mulai lari, alasannya hampir mirip juga..

masih lari di tempat aja sih di kamar setiap pagi, kalau weekend baru diluar rumah..

niatnya desember mau ikutan lomba 5K..

btw, kamu di bandung juga ya?

Kalau mau mungkin kita bisa ketemu dan lari bareng di sabuga..

email me if you interested 🙂

Reply

endri 8 years ago

Saya sempet jadi batu beberapa hari, ga bisa ditanya, ga ngapa-ngapain, cuma tidur di kasur. Lalu mulai jalan kaki di dalam kamar bolak-balik sambil ngembaliin tenaga. Ga usah khawatir masih di dalam kamar, yang penting udah ada kemajuan.

Reply

Leave a Reply to eric agustian Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *