Back to blog

Ngantor di Jakarta dengan gowes: 1000 km

4 July 2019 - Posted in umum Posted by:

Berapa banyak orang yang gowes untuk ngantor sehari-harinya? Kalau memperhatikan berbagai grup sepeda di facebook, ternyata banyak juga. Mulai dari yang jarak dekat, dibawah 10km, seperti saya sampai yang jarak jauh 25 km keatas. Tapi kemudian kalau saya berangkat kerja, jarang sekali berpapasan dengan goweser lainnya. Kalau dalam seminggu bertemu sekali aja udah untung. Mungkin di jalur saya jarang ada, atau mungkin ga beruntung aja. Tapi, kalau melihat parkiran sepeda yang isinya kurang dari 10 sepeda terparkir sementara motor sampai memenuhi jalanan kecil di belakang gedung, saya simpulkan saja goweser memang sangat amat sedikit sekali banget. Mungkin hanya 1% dari pengguna motor. Ga heran sih.

parkiran

Saya beli sepeda sebetulnya sudah sejak desember 2016. Saat masih ada kenangan bersepeda di Malmö. Apartemen-kantor sama jaraknya dengan apartemen-kampus. Saat itu memutuskan untuk coba sepeda murah dulu, cuma sepeda lipat ace hardware seharga 1 juta, padahal sempet naksir brompton. Kata Gandrie: coba aja dulu yang murah, cocok ga sepeda lipet. Kalau saya rutin gowes selama 10 bulan, sepeda sudah terbayar otomatis (transjakarta pp Rp 7000, satu bulan 20x ngantor, keluar kota 6x 2 minggu).

Setelah beberapa kali coba ngantor dengan sepeda, saya menyerah. Lalu lintasnya itu loh. Motor dan mobil kampret. Klakson, nikung, dan bau knalpot macet. Setelah diserempet dalam perjalanan pulang, akhirnya sepakat untuk hanya gowes saat car free day hari minggu. Lumayan lah, sempat gowes hingga 50an km.

Fast forward ke desember 2018, ketika akhirnya serius mau ikut triathlon (dan kemudian ironman). Memutuskan beli sepeda baru, masih sepeda lipet. Yang lebih ringan. Berhubung sepeda murah yang saya punya beratnya 16an kg. Idenya biar bisa sering saya bawa saat saya ke daerah. Kali ini sepeda saya hanya 10 kg. Jauh lebih ringan, dan lebih baik pula. Tapi, setelah upgrade eh jadi 13 kg.

Karena mulai serius untuk latihan sepeda, akhirnya saya pakai rutin juga untuk gowes ngantor. Harus mengakrabkan diri dengan lalu lintas Jakarta. Selain itu transjakarta mulai sulit diandalkan. Penuh padat, antrian di halte ga bisa terangkut sekaligus, antrian mengular, dan headway yang terlalu lama. Setelah 6 bulan, akhirnya strava menunjukan bahwa sepeda ini telah digowes sejauh 1000 km. Kalau tiap hari gowes ngantor, dalam sebulan harusnya dapet 200km. Tapi karena sering keluar kota dan kadangkala saya naik bis, jadi ya real yang saya pakai ngantor mungkin hanya 700an km. Sisanya saya pakai untuk latihan jarak jauh. Paling jauhnya cuma Jakarta-Bogor pp 110 km. Sekarang sepeda kecil hanya dipakai untuk gowes ngantor saja.

Selain lalu lintas yang kampret, ada dua kendala lagi untuk gowes di Jakarta. Panas! Satu menit saja gowes sudah menghasilkan keringat. Setelah tiba di kantor, basahlah baju. Tidak ada pula kamar mandi di gedung kantor. Siasat terbarunya adalah gowes santai aja, ga usah ngebut. Cukup mengurangi produksi keringat.

gowes kantor

Jadi, untuk kota yang lebih nyaman ga cukup hanya membangun jalur khusus sepeda dan parkiran khusus sepeda seperti di negara-negara Eropa. Perlu juga kamar mandi karena Indonesia itu panas. Tanpa itu, bike to work cuma slogan saja. Goweser hanya akan 1% dari pengguna motor, selamanya. Kota akan tetap macet selamanya dengan indeks polusi merah atau bahkan ungu. Ironis karena sepeda sedang laris, bahkan beberapa merek harus inden. Sebagian besar hanya dipakai untuk hari minggu saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *