Back to blog

Kambuh

19 October 2015 - Posted in depresi Posted by:

Minggu lalu di ruang tunggu klinik psikiater.
Pasien depresi: “pa, baru kesini?”
Saya: “udah dua bulan.”
P: “oh kalau saya mah udah 5 tahun, sekarang cuma mau minta obat saja. Udah rutin.”

Saya bingung bagaimana membalas apa yang diucapkan pasien depresi tersebut. Dalam hati saya terbayang bagaimana hidupnya selama 5 tahun melawan depresi. Di saat yang sama saya terbayang diri saya sendiri harus terus mendapat terapi selama 5 tahun. Saya ga mau menjadikan minum obat dan menemui psikiater sebuah kegiatan rutin yang dilakukan selama lima tahun. Dia adalah orang kedua yang saya jumpai yang mengalami depresi selama 5 tahun. Saya sudah dua bulan mendapat pertolongan psikiater secara rutin, dan minum obat dua kali sehari selama dua bulan. Dua bulan yang terasa amat lama.

Setelah mengalami kemajuan yang pesat selama terapi dua bulan tersebut, saya merasakan kembali depresi seperti sebelumnya. Depresi tersebut muncul kembali bersamaan (atau disebabkan?) dengan obat yang habis di hari Kamis. Psikiater saya sedang keluar kota dan baru kembali di hari Senin. Saya bersikeras untuk tidak meminta bantuan teman meresepkan obat untuk saya. Saya ingin mencoba bagaimana jika saya lepas dari obat, apakah akan seperti dulu saat saya tidak bisa tidur selama empat hari?

Tidak ada kendala yang berarti dengan pola tidur saya. Memang cukup sulit untuk tertidur, tapi saya masih dapat tidur dengan baik. Mampu untuk tidur pulalah yang membuat penderitaan depresi saya kala itu tidak seburuk saat kambuh dua bulan yang lalu. Saat kambuh yang sekarang juga disertai dengan perasaan ingin bunuh diri lagi. Sama seperti dulu. Tapi sekarang saya punya jurus ampuh, saya tidur saja. Saya bisa tidur empat kali dalam sehari. Saya tidur setiap pikiran bunuh diri kembali muncul.

Tapi ada satu perasaan yang muncul kembali dan tidak bisa saya hilangkan. Perasaan malu. Malu karena depresi saya kambuh lagi. Perasaan malu yang membuat saya berdiam diri di rumah. Perasaan malu yang membuat saya diam tanpa menghubungi teman-teman, menceritakan depresi saya kambuh, dan meminta tolong. Saya terdiam. Perasaan malu karena sebelumnya saya sudah menulis bagaimana menolong orang yang punya pikiran bunuh diri, tapi saya sendiri malah diam saja ketika merasakannya lagi. Saya bahkan terdiam ketika pasien lain di ruang tunggu psikiater bertanya saya sakit apa. Saya hanya jawab “maaf, pribadi”. Saya toh sudah menuangkan semua kisah saya di blog, semua bisa membacanya. Tapi saya malah diam. Malu karena depresi saya kambuh, malu karena punya pikiran bunuh diri lagi. Dan malu karena mengurung diri lagi.

Mungkin episode kambuh saya disebabkan obat yang tiba-tiba terputus. Tapi mungkin karena ada dua peristiwa yang membuat saya kehilangan harapan lagi. Saya menemukan lowongan pekerjaan yang saya idamkan, karena ruang lingkup pekerjaannya di bidang Neglected Tropical Diseases (NTD). Jarang sekali ada lowongan pekerjaan di bidang NTD ini, sesuai namanya “neglected”. Tapi saya ragu. Tanggung jawab pekerjaannya besar. Sanggupkah saya? Haruskan saya memaksakan diri kembali bekerja atau perlukah saya menunggu hingga depresi saya teratasi. Bagaimana nanti jika depresi saya kambuh saat saya sedang bekerja? Saya pasti akan menyalahkan diri dan kembali merasa diri tidak berharga. Di saat yang sama, saya sudah tidak sabar kembali bekerja. Dengan bekerja setidaknya hari-hari saya akan penuh dengan aktivitas. Tidak seperti sekarang yang lebih banyak dihabiskan tidak jelas.

Di minggu yang sama kakak saya melahirkan anak yang kedua. Teman sekelas saya juga melahirkan beberapa hari sebelumnnya. Saya bahagia. Bagaimana tidak, bayi! Tapi disaat yang sama saya merasakan beban juga. Saya tidak yakin saya sanggup menjadi ayah. Saya takut menjadi ayah. Tanggung jawab seorang ayah sekaligus kepala keluarga sangat berat. Selama masih dicengkeram depresi saya tidak mungkin menjadi ayah. Teringat pasien yang sudah menjalani terapi selama lima tahun, kapankah saya akan terbebas dari depresi? Mungkin depresi ini adalah perjuangan seumur hidup. Teman saya ternyata juga mengalami hal yang sama ketika mendengar kabar teman sekelas kami melahirkan

Mungkin pula depresi saya dapat dikaitkan dengan kondisi hipertiroid yang saya alami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *