Back to blog

Film Inside out dan depresi

24 October 2015 - Posted in depresi Posted by:

sadness

Depresi membuat saya merasa tidak nyaman berada di kerumunan orang. Itu salah satu alasan saya dahulu mengunci diri di kamar dan hanya keluar rumah jika ada teman yang butuh bantuan saja. Saat diajak menonton Inside Out oleh teman saya iyakan saja walau dalam hati saya tidak akan datang dan alasannya pun sudah terpikirkan saat itu juga. Saat itu saya belum tahu film seperti apa inside out, belum pernah membaca review, belum pernah pula lihat imdb score nya berapa. Tanpa dikira, Inside out bukan saja salah satu film terbaik yang pernah saya tonton tetapi juga sangat pas dengan kondisi saya yang saat itu sedang depresi.

Yang sangat menarik untuk saya adalah hubungan antara Joy dengan Sadness. Saya tertawa saat Joy membuat garis lingkaran disekitar sadness dan memberi intsruksi agar Sadness tetap berada dalam lingkaran. Saya, dan mungkin kita semua, sering melakukannya, mengubur kesedihan sedalam-dalamnnya. Kita seringkali merasa tidak membutuhkan kesedihan, sehingga berusaha membuangnya jauh-jauh, menggantikannya dengan senyum tawa. Seberapa sering kita berusaha menghibur teman yang sedang sedih, berusaha mengusir rasa sedih. Sedih tidak berguna, sedih tiada berarti, sedih hanya membuat kita merasa sedih. Inside out merubah pandangan saya tentang kesedihan.

Saat Riley tumbuh besar, Joy memegang kendali utama. Sehingga semuanya menyenangkan, gembira. Tapi saat Riley beranjak dewasa, Riley mulai menyadari bahwa tidak semuanya bisa menyenangkan. Dimulai saat ketika Sadness menyentuh salah satu bola “core memory”. Sadness merubah kenangan indah menjadi sedih, dan apapun usaha yang dilakukan Joy untuk mengubahnya kembali tidak berhasil. Ini serupa dengan depresi, tiba-tiba semua kenangan indah di masa lalu berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan, yang membuat saya semakin depresi.

Semuanya mulai berubah saat Joy tidak mampu menghibur Bing Bong, teman khayalan Riley. Joy kemudian menyaksikan sesuatu yang indah, Sadness menemani Bing Bong dengan cara membiarkan Bing Bong menangis. Sadness berempati. Setelah menangis beberapa lama, Bing Bong pun mampu melanjutkan perjalanan kembali.

Depresi dan Inside Out membuat saya memahami bahwa saya membutuhkan rasa sedih. Bahwa tak apa menangis. Bahwa saya tak harus memaksakan diri untuk tersenyum, mengikuti upaya teman yang berusaha menghibur.

Saat saya bercerita tentang depresi saya kepada teman, saya selalu mendapat dua respon yang berbeda. Teman yang tidak paham tentang depresi selalu berusaha menghibur saya, agar saya kembali bahagia. Dalam upayanya, teman saya berusaha menunjukan bahwa banyak orang lain yang jauh lebih buruk dari saya. Bahwa saya harus bersyukur. Bukan salah teman saya, memang. Memang sulit untuk memahami depresi. Teman yang pernah melewati depresi punya respon yang berbeda. Mereka tidak banyak berkata. Mereka menemani saya apa adanya, membiarkan saya bercerita panjang lebar, kemudian mereka berkata bahwa tidak mengapa saya bersedih karena saya memang membutuhkannya. Salah satu teman saya gak berkata apa-apa, hanya memberi pelukan. Dan sama seperti Bing Bong, setelah melepaskan semua kesedihan itu saya bisa menerima diri saya apa adanya, dan bersemangat kembali.

Inside out telah mengajarkan saya bahwa saya membutuhkan kesemua aspek emosi—termasuk amarah, takut, kesedihan, dan jijik.

One Comment

chatarinarenaniaira@gmail.com 7 years ago

Hi salam kenal
Tulisan2 nya menarik
Review ttg Inside Out ini jga
Saya Rena
Boleh tukeran email?
Terima kasih

Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *