Setelah mama saya pulang dari rumah sakit, satu minggu sejak kepulangan saya ke Indonesia, saya dipaksa menemui seorang psikiater bersama mama dan kakak. Saya amat tidak nyaman menunggu di ruang tunggu bersama puluhan orang lainnya. Salah satu pasien di ruang tunggu mengenali saya, dan tahu bahwa saya dokter. Ingin rasanya mengenakan topeng. Saya mulai bisa merasakan stigma di dalam diri orang lain saat dia berkata ke orang tua saya “bukannya dokter koq berobat kesini?”. Terlebih saya mengantri di depan ruang periksa psikatri. Saya menghindari obrolan dengan siapapun dengan segala upaya. Tiga minggu kemudian kami datang kembali menemui psikiater.
Setelah konsultasi dengan dokter, saya diberi obat. Amitriptilin dan alprazolam. Setiap hari saya diawasi minum obat, agar saya sungguh-sungguh meminumnya. Hari demi hari saya mulai bisa tidur dengan teratur. Keadaan saya berangsur membaik hingga pada suatu waktu, saya merasa diri telah sembuh. Pada waktu itu pertengahan Agustus, empat minggu setelah meminum obat. Saya kemudian berkata pada mama kalau saya udah sembuh. Saya pun memutuskan untuk tidak menemui psikiater kembali di saat obat sudah habis.
Hari-hari terburuk dalam hidup saya bukanlah pada saat saya mengalami kejadian-kejadian buruk yang membawa saya ke dalam depresi. Bukan pula hari-hari dimana saya hampir mencabut nyawa saya sendiri. Atau pada masa keluarga saya hancur 10 tahun yang lalu. Saat terburuk dalam hidup saya adalah saat saya tidak bisa tidur selama empat hari berturut-turut. Tanpa rasa kantuk, tanpa rasa lelah. Hal ini terjadi karena saya berhenti minum obat mendadak. Saya tidak berkutik saat semua kejadian buruk yang menimpa saya kembali teringat lagi pada saat saya memaksakan diri untuk tidur setiap malam. Semua kenangan buruk. Betapa tidak berharganya saya, dibuang, semua kesalahan yang pernah saya perbuat, saya menyakiti orang-orang yang saya sayangi, pengorbanan saya di masa lalu, dan saat dimana saya hampir membunuh mama saya sendiri. Semuanya kembali dengan amat detil. Saya ingat kata per kata yang saya ucapkan di malam mama saya terkena serangan jantung. Saya bahkan ingat suasana dan detil ruang UGD dimana mama saya dirawat. Selama empat hari itu, saya betul-betul berjuang melawan pikiran bunuh diri, terutama di malam keempat. Saya takut akan kalah oleh ajakan bunuh diri. Saya amat takut malam hari. Bagi saya malam hari jauh lebih menakutkan daripada film horror manapun. Tidak ada hal lain yang bisa diperbandingkan.
Hal ini berperan menampar saya bahwa saya masih perlu pertolongan. Bahwa semuanya tidak akan hilang dengan sendirinya. saya mulai konsultasi kepada beberapa teman yang kebetulan dokter dan psikiater juga. Dari mereka saya baru tahu bahwa terapi depresi biasanya berbulan-bulan lamanya, setidaknya enam bulan. Kebetulan juga salah satu teman konsultasi saya pernah mengalami depresi juga. Itu merupakan kali pertamanya saya mulai sharing tentang depresi saya kembali. Kali ini saya merasa saya didengar, saya tidak di-“judge”, tidak terlalu banyak stigma sosial. Teman saya ini pula yang pertama kalinya menyarankan saya untuk terbuka tentang depresi saya, bahwa kita harus melawan stigma sosial tentang gangguan mental.
Saya harus bertahan selama empat hari tanpa tidur karena senin merupakan hari libur nasional sehingga klinik tutup. Pada hari selasa saya datang kembali ke psikiater sebelumnya, berharap mendapatkan obat tidur kembali. saya beruntung mendapat nomor antrian dua. Satu pasien psikiatri bisa berpuluh-puluh menit atau bahkan hitungan jam. Akan tetapi dokter tak kunjung datang. Setelah dua jam, kami menanyakan ke bagian informasi tentang keberadaan dokter. Kami hanya diberitahukan bahwa biasanya setelah jam 7 malam sang dokter tidak akan datang. Kami menunggu satu jam lagi sambil mencoba menghubungi handphone sang dokter yang diberi oleh satpam. Ditelepon berkali-kali tidak diangkat, SMS tidak dibalas. Setelah menunggu dua jam akhirnya saya pulang. Semua pasien bubar. Hingga hari ini saya tidak pernah menyangka ada dokter yang sangat tidak bertanggung jawab seperti itu. Membiarkan pasien menunggu berjam-jam tanpa memberi kabar. Tidak ada pilihan lagi, saya harus bertahan satu malam lagi. Keesokan harinya, di siang hari, sang dokter membalas SMS saya, memberitahukan bahwa hari ini dia akan praktek. Masa bodoh, saya tidak akan pernah datang lagi. Saya membutuhkan bantuan. Saya akan mencari psikiater lain yang lebih beretika. Sekarang saya sudah mendapatkan psikiater yang cocok dan mau mendengarkan. Beliau adalah guru saya dulu, seorang guru besar. Beliau tepat waktu. Dan baru kali ini dengan beliau saya merasa saya mendapat pertolongan yang sesungguhnya.
One Comment
Ari 5 years ago
Halo mas Endri.
Terimakasih. Saya merasa lebih baik setelah membaca beberapa tulisan mas disini. Saya merasa itu gua banget. Terlebih punya pemikiran untuk bunuh diri sejak kecil. Saya merasa takut dengan masa lalu saya yang membuat saya tidak mau berinteraksi dengan orang-orang yang terlibat di masa lalu saya (tetangga rumah)..
Jujur saya bingung, untuk benar-benar bisa sembuh apakah kita perlu ke psikiater? Yang menjadi konsiderasi saya adalah kondisi ekonomi. Apakah teman support saja sudah cukup?