Back to blog

Belajar dari Kartu Jakarta Sehat

14 July 2014 - Posted in kesehatan Posted by:

Sebagaimana yang kita ketahui mulai tahun ini Indonesia melaksanakan Universal Health Coverage (UHC), atau pelayanan kesehatan untuk semua masyarakat. Bagaimana nasib UHC yang baru seumur jagung ini di tangan presiden baru nantinya? Tidak ada salahnya kalau kita menengok kebelakang untuk belajar dari pengalaman terdahulu. Kartu Jakarta Sehat dapat dipandang sebagai pelaksanaan UHC di tingkat provinsi. Saya akan mengambil salah satu contoh kasus saja yang kemudian akan saya analisis untuk dipelajari bersama.

Kasus yang saya jadikan contoh adalah kematian dua bayi pada awal 2013, tidak lama setelah program Kartu Jakarta Sehat diresmikan pada November 2012. Kasus ini sempat ramai diberitakan di berbagai media tanah air maupun media internasional. Kematian bayi ini terjadi setelah adanya penolakan oleh 10 rumah sakit (Dewi, 2013). Kasus ini dapat dianggap sebagai salah satu kegagalan pasar pelayanan kesehatan yang sering terjadi di Indonesia. Lebih buruknya lagi, kejadian seperti ini acapkali dialami oleh masyarakat miskin. Bayi tersebut tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan.

Metodologi

Pendekatan studi kasus digunakan untuk artikel kali ini. Detil dari kasus dikumpulkan dari surat kabar online. Lima surat kabar online dipilih dengan cara purposive sampling. Kelima surat kabar tersebut adalah Tempo.co, The Jakarta Post, The Jakarta Globe, Kompas.com, dan Republika Online. Nama bayi yang meninggal digunakan sebagai kata kunci pencarian berita di masing-masing surat kabar. Detil kasus dikumpulkan hingga tercapai saturasi informasi yang relevan. Jika ada informasi yang berbeda maka triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan kelima sumber dan memperhatikan tanggal penulisan artikel.

Detil kasus Kartu Jakarta Sehat

Ibu
Seorang ibu yang berusia 20 tahun tidak memiliki asuransi kesehatan. Ibu juga tidak memiliki Kartu Jakarta Sehat. Akan tetapi ibu mendapatkan pelayanan ksehatan cuma-cuma di Puskesmas dan rumah sakit. Ibu menggunakan KTP Jakarta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut. Kehamilannya diperkirakan sudah 21 minggu pada saat ibu menyadari dirinya hamil. Kehamilan ini adalah yang pertama kalinya. Ibu memeriksakan kehamilannya dua kali di Puskesmas dan sekali di bidan swasta. Ibu tidak pernah mendapatkan pemeriksaan dengan USG. Ibu merasakan demam pada kehamilan minggu ke-32. Telah terjadi pembukaan serviks sebesar 1 cm ketika ibu memeriksakan demamnya ke Puskesmas yang kemudian dirujuk ke rumah sakit pada hari yang sama. Malam harinya ibu melahirkan bayi perempuan kembar melalui operasi SC. Satu minggu kemudian ibu dirujuk ke rumah sakit yang lain untuk mendapatkan pelayanan lebih lanjut.

Ayah
Seorang ayah berusia 20 tahun merupakan penjual sandal kaki lima di Jakarta Selatan. Ayah mendapatkan kabar bahwa salah satu bayinya harus dirujuk ke rumah sakit lain karena perlu dirawat di fasilitas NICU. Berbekal surat rujukan ayah dan kakek pergi ke rumah sakit daerah tetapi ditolak karena tempat penuh. Kemudian ayah dan kakek mendatangi rumah sakit pusat pada pukul empat pagi. Keduanya harus menunggu hingga pukul enam pagi untuk mendapatkan jawaban yang sama bahwa fasilitas NICU di rumah sakit tersebut penuh. Keduanya mendatangi rumah sakit pusat lainnya tapi mendapatkan jawaban serupa. Pada hari keempat keduanya telah mendatangi 10 rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit menolak dengan alasan tidak memiliki fasilitas NICU atau fasilitas NICU yang dimiliki sedang penuh. Dua rumah sakit swasta meminta DP 15 juta rupiah karena kedua rumah sakit ini belum termasuk dalam rumah sakit yang dicover program Kartu Jakarta Sehat.

Bayi
Kedua bayi lahir prematur melalui operasi SC di sebuah rumah sakit kelas C pada 10 Februari. Bayi 1 memiliki berat lahir 1 kg dan panjang 36 cm. Bayi 1 memiliki kelainan bawaan yang perlu untuk segera dilakukan tindakan bedah. Staff rumah sakit memberikan saran agar orang tua mencari rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Orang tua bayi dan staff rumah sakit tidak berhasil merujuk bayi 1. Bayi 1 meninggal pada 16 Februari.
Bayi 2 memiliki berat lahir 1.45kg dan panjang 39 cm. Bayi 2 tidak memiliki kelainan bawaan. Bayi 2 dirujuk ke fasilitas NICU di rumah sakit daerah pada 18 Februari, dua hari setelah saudara kembarnya meninggal. Di akhir bulan Februari, bayi 2 dirujuk kembali ke rumah sakit pusat. Bayi 2 akhirnya meninggal pada 20 Maret.

Pembahasan

Pembahasan kali ini dibatasi pada aspek sistem pembiayaan kesehatan saja. Program Kartu Jakarta Sehat berhasil meningkatkan cakupan masyarakat yang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Pada saat yang sama, Kartu Jakarta Sehat meningkatkan tekanan pada sumber daya pelayanan kesehatan yang sebelumnnya pun memang sangat terbatas.

Universal Health Coverage (UHC)

Tiga dimensi KJS berdasarkan model WHO

Tiga dimensi UHC (WHO, 2010)

 

Ada tiga dimensi UHC yaitu cakupan populasi, cakupan pelayanan, dan perlindungan keuangan (WHO, 2010). Saya akan menggunakan bantuan gambar untuk menjelaskan tiga dimensi UHC. Kotak kecil berwarna biru merupakan dana kesehatan yang akan digunakan. Untuk memudahkan saya asumsikan saja kotak biru dalam program Kartu Jakarta Sehat ini berukuran 4 x 4 x 4. Saya akan menggunakan skala 0-10 untuk ketiga dimensi (cakupan populasi, cakupan pelayanan, dan perlindungan keuangan). 0 artinya dimensi UHC tidak terpenuhi sama sekali, sementara 10 artinya dimensi UHC terpenuhi secara maksimal. Apa yang bisa dilakukan agar kotak kecil ini dapat digunakan untuk mencapai UHC? Beberapa kemungkinan saya berikan dalam tabel berikut:

[table id=1 /]

Model A merupakan kondisi ideal dimana seluruh dimensi UHC dapat terpenuhi dengan maksimal. Untuk mencapai model A diperlukan sumber daya yang sangat besar. Model A saya gunakan sebagai perbandingan saja. Model B merupakan model yang menggunakan sumber daya yang terbatas. Model B saya gunakan untuk menggambarkan program Kartu Jakarta Sehat.

Cakupan populasi pada model A mencakup seluruh masyarakat Jakarta. Walaupun semua masyarakat Jakarta dapat mendaftar untuk mendapatkan Kartu Jakarta Sehat tetapi KTP Jakarta merupakan syarat yang harus dipenuhi. Pada kasus diatas, sebuah keluarga mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas maupun di rumah sakit walaupun tidak memiliki Kartu Jakarta Sehat karena memiliki KTP Jakarta, sebuah upaya pemerintah Jakarta untuk memudahkan proses administrasi. Pada kenyataannya banyak masyarakat pendatang yang kesulitan mendapatkan KTP Jakarta. Proses mendapatkan KTP Jakarta dapat memakan waktu yang lama dan tidak jarang membutuhkan biaya yang lebih besar dari harga resmi. Sehingga bisa dikatakan model B lebih tepat untuk menggambarkan cakupan populasi program Kartu Jakarta Sehat bahwa ada sebagian masyarakat Jakarta yang tidak tercakup.

Sejak diumumkan pada November yang lalu, cakupan pelayanan Kartu Jakarta Sehat memang terbatas sehingga tidak dapat memenuhi syarat untuk model A. Kartu Jakarta Sehat memberikan masyarakat Jakarta pelayanan kesehatan rawat jalan di Puskesmas dan pelayanan rawat inap kelas tiga di Puskesmas, rumah sakit milik pemerintah, dan rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan pemerintah di bawah program Kartu Jakarta Sehat. Ya betul, hanya perawatan kelas III dan tidak di semua rumah sakit. Lebih jauh lagi, pemerintah daerah juga memiliki daftar pelayanan kesehatan dan obat-obatan yang dapat diberikan oleh pusksmas dan rumah sakit kepada pasien pengguna Kartu Jakarta Sehat. Tidak semua pelayanan kesehatan diberikan pemerintah daerah. Hal ini masuk akal karena ada prioritas untuk pelayanan kesehatan yang diberikan, misalnya pelayanan kesehatan kosmetik tidak menjadi prioritas sehingga tidak menjadi bagian dari program Kartu Jakarta Sehat.

Pada kasus ini ada kesulitan orang tua bayi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas NICU. Terbatasnya fasilitas NICU (dan staff yang berkompeten) menjadi kendala utama. Selain masuk kedalam daftar pelayanan kesehatan yang dibuat pemerintah daerah, infrastruktur dan sumber daya manusia yang cukup juga diperlukan agar pelayanan kesehatan dapat diberikan. Saya memberikan angka 2 pada dimensi cakupan pelayanan model B karena pelayanan kesehatan yang mampu diberikan pemerintah Jakarta masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan. Kartu Jakarta Sehat memang berhasil mencakup hampir semua masyarakat Jakarta tetapi kemudian menimbulkan peningkatan pengguna layanan kesehatan. Puskesmas dan rumah sakit dibanjiri pasien Kartu Jakarta Sehat.

Selain ketidakmampuan memberikan pelayanan yang diperlukan, Kartu Jakarta Sehat juga menimbulkan kompromi dalam kualitas pelayanan kesehatan. Bagaimana caranya tenaga kesehatan dapat melayani ratusan pasien dalam waktu yang terbatas? Berbagai institusi berusaha melakukan efisiensi dengan berbagai cara. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki pilihan untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk memperbaiki dimensi pelayanan kesehatan ini dengan menambah infrastruktur dan sumber daya manusia. Akan tetapi, mengalokasikan dana untuk dimensi ini berarti mengurangi alokasi untuk dimensi lain misalnya cakupan populasi. Pada akhirnya kompromi harus dilakukan di ketiga dimensi UHC karena bagaimanapun juga dana yang dimiliki untuk bidang kesehatan terbatas.

Jika masyarakat mengalami kesulitan keuangan karena mendapatkan pelayanan kesehatan maka akan sulit untuk mencapai UHC. Hal yang dapat mengakibatkan kesulitan keuangan ini misalnya biaya ekstra yang harus dibayar untuk mendapat pelayanan kesehatan. Dalam program Kartu Jakarta Sehat masyarakat tidak perlu membayar apapun untuk pelayanan kesehatan yang didapatkan, salah satu bentuk perlindungan keuangan Kartu Jakarta Sehat. Akan tetapi dalam kasus diatas sang ayah dan kakek harus berkeliling kota Jakarta demi mencari rumah sakit. Tentu saja ada biaya yang dikeluarkan untuk proses pencarian ini. Biaya ini bukan hanya uang yang dibayarkan untuk transportasi tetapi termasuk juga penghasilan yang hilang karena tersitanya waktu untuk berjualan sandal. Selain itu, sang ayah bisa saja membayar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit swasta tetapi ini akan membuat kondisi keuangan keluarga menjadi sangat buruk dengan berutang. Atas dasar dua hal diatas maka bisa disimpulkan bahwa Kartu Jakarta Sehat belum dapat memenuhi dimensi perlindungan keuangan dari sebuah UHC yang ideal.

Moral hazard

UHC sering disebut-sebut dapat menimbulkan moral hazard (Arrow, 1963). Moral hazard mengacu pada gagasan bahwa orang akan membuat pilihan yang berbeda ketika mereka memiliki asuransi kesehatan dibandingkan ketika tidak memiliki asuransi kesehatan (Pauly, 1974). Misalnya ketika memiliki asuransi kesehatan sedikit-sedikit ke Puskesmas karena tidak perlu membayar, atau malas berolah-raga karena kalaupun nanti jatuh sakit tidak harus membayar biaya pelayanan kesehatan. Ada beberapa cara yang biasa digunakan untuk mengurangi moral hazard ini misalnya co-payment, co-insurance, deductible, dan memberlakukan waktu tunggu. Saya tidak akan membahas keempat istilah ini di artikel kali ini.

Tidak teraturnya ibu dalam kasus ini memeriksakan kehamilannya mungkin bukan disebabkan oleh moral hazard tetapi lebih karena disebabkan pengetahuannya yang terbatas. Yang menarik adalah walaupun ibu telah mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas tetapi masih mengunjungi bidan praktek swasta. Apakah ada indikasi moral hazard disini? Sulit untuk menilainya dari detil kasus yang diperoleh. Yang pasti moral hazard meningkatkan beban yang harus ditanggung oleh layanan kesehatan baik itu beban untuk tenaga kesehatan maupun beban untuk pembiayaan kesehatan.

Penutup

Artikel saya ini hanya menyentuh salah satu aspek saja, yaitu pembiayaan kesehatan. Tidak mungkin mencapai UHC tanpa dukungan dana yang cukup. Anggaran kesehatan indonesia lebih kecil dari rerata negara berkembang lainnya. Selain itu anggaran masih jauh lebih kecil dari 5% yang diamanatkan UU 36 Tahun 2009. Tantangan besar akan dihadapi oleh presiden terpilih karena studi kasus ini hanya untuk UHC di Jakarta. Tentunya kondisi Indonesia jauh lebih beragam jika dibandingkan Jakarta yang lebih homogen baik itu aspek demografi maupun geografi. Menerapkan UHC di sebuah negara berkembang seperti Indonesia memang penuh tantangan. Ghana dan Thailand merupakan dua contoh negara berkembang yang terbilang berhasil dalam menerapkan UHC secara nasional sementara Uganda dan Afrika Selatan belum berhasil. Tentu saja ada banyak aspek yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan UHC di tiap-tiap negara.

Salam hangat
Endri

Referensi:

Arrow, K., 1963. Uncertainty and the welfare economics of medical care. The American Economic Review, LIII(5).

Dewi, S.W., 2013. Newborn dies after 10 hospital rejections; twin survives. The Jakarta Post. Available at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/19/newborn-dies-after-10-hospital-rejections-twin-survives.html [Accessed March 29, 2014].

Pauly, Mark, 1990. The Rational Nonpurchase of Long-Term-Care Insurance. The Journal of Political Economy: 154-168.

Pemerintah Jakarta, 2012. Peserta Kartu Jakarta Sehat (Participants of Healthy Jakarta Card). Available at: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2012/11/peserta-kartu-jakarta-sehat [Accessed March 29, 2014].

WHO, 2010. The World Health Report 2010. Health systems financing: the path to universal coverage, Geneva: World Health Organizaton.

One Comment

Irma Wahyuni 10 years ago

Bagus kang..membuka mata ttg sistem kesehatan..ntar kapan2 aq sharing deh gimana keadaan lapangan, sebagai pelaku lapangam RS rujukan dan puskesmas di jkt setelah di berlalukan sistem JKN ini.. mungkin bisa jd masukan buat riset jg, secara kita di lapangan udh ga punya tenaga lagi (diperes mpe ketulang)utk melakukan riset. Hehehe…

Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *