Sabtu pagi, 26 Desember 2015 mama ke kamar saya. Mama baru saja dapat berita tentang kakaknya, paman saya. Paman ditemukan tak bernafas di rumah kosong di Padalarang. Mayatnya lalu dibawa ke RS Hasan Sadikin. Mama segera pergi ke RSHS.
12 hari sebelumnya paman saya hilang dari rumahnya. Sudah lapor ke polisi. Tiga tahun terakhir ini paman menderita skizofrenia dan dementia alzheimer. Sudah tidak bisa mengenali lagi siapa-siapa. Cukup sering paman pergi sendiri lalu tiba-tiba muncul di rumah saya, rumah saudara yang lain, dan lain-lain. Ya, paman masih ingat jalan. Tapi seringkali ga mengenali siapa-siapa. Mama biasanya menemani paman berobat. Dan sudah beberapa bulan terakhir obatnya hanya tinggal satu jenis saja.
Saya hanya membayangkan bagaimana rasanya jadi paman. Apa yang dipikirkan paman. Apa yang dipikirkan keluarganya. Apa arti hidup yang tersisa bagi paman saat sudah hampir tidak mengenali siapa-siapa. Sehingga saat saya mendengar paman ditemukan tak bernyawa perasaan saya campur adik. Sedih karena kehilangan seorang paman. Dan meninggalkan dunia seperti itu, sendirian jauh dari rumah. Warga di sekitar tempat meninggalnya paman baik hari, memberi makan paman, tapi paman tidak menjawab saat ditanya rumah dimana.
Disaat yang sama saya merasa lega. Mungkin banyak orang akan marah karena saya merasa seperti itu. Tapi mungkin ini yang terbaik bagi paman. Jika saya berada di posisi paman, saya ga mau menyusahkan keluarga. Satu-satunya arti hidup jika berada pada posisi paman adalah karena masih ada yang mengasihi, keluarga. Tapi bagi diri sendiri, mungkin sudah tidak bermakna lagi.