Back to blog

Reverse Culture Shock

1 November 2015 - Posted in Swedia Posted by:

Empat bulan semenjak pulang dari Swedia saya masih mengalami reverse culture shock, atau disebut juga own culture shock. Saya harus menyesuaikan kembali dengan kebudayaan lokal Indonesia. Ternyata jauh lebih sulit, terutama setelah terbiasa dengan kebudayaan di Swedia yang serba teratur. Saya sekarang berasa turis asing di negara sendiri.

Kendala paling utama adalah transportasi. Saat di Malmö dulu saya mengandalkan bersepeda, paling lama 30 menit. Kini saya kembali mengendarai motor karena angkot tidak bisa diandalkan. Walaupun menggunakan motor, tapi waktu tempuh di Bandung lebih lama dibandingkan waktu tempuh bersepeda di Malmo walaupun jaraknya sama. Betul, macet. Bandungku dulu tak begini, kini semakin macet dan dikepung mall dan hotel di setiap pojokan kota.

Saat dahulu bersepeda di Swedia saya harus menyesuaikan diri karena harus di jalur kanan, berbeda dengan jalur kiri di Indonesia. Terkadang lupa berasa di Indonesia sehingga saya pernah tabrakan sepeda. Saya yang salah karena menginvasi jalur kiri. Sekarang di Indonesia harus membiasakan diri kembali di jalur kiri, dan kini lebih berbahaya karena yang dikendarai adalah motor di jalan raya. Pernah beberapa kali saya masuk jalur kanan dan hampir tabrakan. Saya pun mengemudikan motor saya secara perlahan dan sangat tertib, mengikuti ketentuan di Swedia. Rerata maksimum 40 km/jam, atau 30 km/jam di jalan yang ramai. Saya hampir ga pernah akselerasi diatas 50 km/jam, walau jalanan kosong sekalipun. Ga berani karena motor lain sangat ugal-ugalan.

Untuk transportasi ke luar kota saya mengandalkan kereta api. Saya masih horror naik roda empat di Indonesia, terutama kalau pengemudinya ugal-ugalan. Saya belum sering keluar kota, jadi sampai sekarang masih bisa bergantung kepada kereta api. Sekali-kalinya naik roda empat ketika perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta menuju rumah di Cimahi. Saya tidak bisa tidur di dalam mobil karena terlalu cemas akan terjadi apa-apa.

Yang ini cukup unik. Saya paling takut nyebrang di Indonesia. Tidak jarang saya meminta bantuan orang lain, atau ikut menyebrang bersama orang lain. Sangat berbeda dengan di Swedia, semua kendaraan akan berhenti jika melihat ada yang akan menyebrang jalan. Di Indonesia sebaliknya, kalau melihat ada yang mau menyebrang mobil dan motor malah tancap gas, biar ga perlu mengerem dan berhenti, walaupun saya menyebrang di zebra cross. Tapi lahan zebra cross sendiri sering diambil alih motor yang tidak tertib.

Saat di Malmö saya cukup bersepeda lima menit langsung tiba di supermarket. Semua kebutuhan sehari-hari bisa dibeli disana. Sekarang mau belanja rasanya susah. Ga semua supermarket menjual daging dan ikan. Harganya mahal, hampir setara harga di Swedia. Kalau mau murah harus ke pasar tradisional, tapi harus datang pagi-pagi. Waktu tempuh ke supermarket dan pasar tradisional pun diatas 20 menit. Tantangan lebih untuk melakukan hobby masak saya.

Saya kehilangan handphone saya karena saya masih terbiasa dengan kehidupan di Swedia. Ceritanya saya berhemat dengan naik busway daripada taxi. Tapi saya terlalu polos, serasa masih di Swedia. Saya simpan handphone saya di tas punggung. Tas tersebut saya kenakan di punggung saya. Seharusnya tas saya kedepankan agar terhindar dari copet. Saat turun dari bus, saat hendak mengirim pesan, saya mendapati tas saya telah terbuka dan handphone saya lenyap. Jauh berbeda dengan pengalaman saya di Swedia. Dua kali kehilangan handphone tapi berhasil kembali dengan selamat. Pertama hilang di kampus, karena lupa, di meja-meja restoran yang berada di dalam kampus. Seseorang menemukannya dan menitipkannya di meja informasi. Kedua hilang, lagi-lagi karena lupa, tertinggal di atas kursi bus. Saya kemudian menghubungi perusahaan bus. Handphone saya tidak ada tapi perusahaan bus mengatakan akan menghubungi saya melalui email jika ada perkembangan. Dan sayapun mendapat email dalam waktu kurang dari 24 jam. Handphone kembali ke tangan saya. Saya merasa sangat aman di bus di Swedia, apalagi bus dilengkapi beberapa CCTV. Tapi kini saya harus belajar beradaptasi lagi dengan kehidupan di Indonesia.

Sekarang kemana-mana harus bawa uang tunai beserta uang recehan. Agak merepotkan setelah terbiasa cukup bawa kartu debit di Swedia. Yang paling repot harus selalu sedia uang recehan, untuk bayar parkir, makan di warung nasi, beli bensin dan lain-lain. Dompet yang biasanya tipis sekarang tebalnya dua kali lipat berisi uang tunai yang cukup. Karena pernah kejadian beberapa kali saya harus melipir ke ATM karena lupa bawa uang tunai dan ga bisa bayar menggunakan kartu debit.

Terakhir yang membuat saya kangen Malmö adalah cuacanya. Bandung panas coy! Bandungku dulu tak begini, kini berasa di dalam oven. Saat di rumah saya hampir ga pernah pakai baju atasan. Hanya bermodal celana pendek saja. Setiap habis keluar rumah pasti baju basah karena keringat saat pulangnya. Hawa dingin Malmö bisa diatasi dengan baju berlapis. Nah sekarang hawa panas bagaimana? Baju minim masih tetap terasa panas. Dan ga mungkin berkendara motor tanpa memakai jaket, karena akan membakar kulit. Jadi walau suhu hampir 40 derajat celcius tetap saja kalau bermotor pakai jaket untuk melindungi dari panas sinar matahari.

Proses adaptasi dengan kebudayaan Swedia terbagi dalam empat tahap. Honeymoon period adalah saat dimana segala sesuatu tentang Swedia terasa indah. Lalu fase negosiasi adalah saat mulai membanding-bandingkan kebudayaan baru dengan kebudayaan asal. Fase penyesuaian saat mulai terbiasa dengan keadaan yang baru. Dan akhirnya fase adaptasi ketika merasa nyaman dengan kebudayaan Swedia. Saya sudah melalui keempat fase tersebut. Hal itulah yang membuat proses adaptasi kembali dengan kebudayaan Indonesia menjadi sulit. Tidak ada honeymoon period. Setelah empat bulan saya belum bisa merasa nyaman di negara asal. Uniknya, banyak teman saya yang berasal dari berbagai negara juga mengalami hal yang sama. Tidak terkecuali teman yang berasal dari Amerika. Kebudayaan Swedia memang sangat membekas di hati kami semua, membuat rasa kangen dan ingin kembali kesana.

One Comment

Tyas Sarce 9 years ago

Thx Kermit, sudah berbagi. Keren!
Jadi gw bisa membayangkan kalau suatu saat gw memiliki pengalaman yang sama kaya loe di Eropa, ntah di mana pun itu berada.

hehe.
Semangat yaaa 😉

Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *