Back to blog

Nota kosong

15 June 2019 - Posted in umum Posted by:

“Dikosongkan ya pak”, begitu ucapan penjaga penginapan saat saya checkout. Ketika saya minta diisi lengkap dengan nama, tanggal, nomor dan jenis kamar, dan harga, sang penjaga bertanya, “mau diisikan berapa?”. Saya pengen ngamuk. Pengen menaikkan suara saya, setidaknya. Tapi akhirnya saya cuma menarik nafas, “diisi sesuai harganya saja pak”. Sementara itu, disebelah saya ada seseorang yang bertanya harga nota kosong. Harganya 50 ribu, dan orang itu beli empat lembar yang sudah dicap. Harga resmi di penginapan itu antara 150 ribu hingga 300 ribu. Tapi, penginapan itu tidak punya situs web. Kalau mau cek harga sebenarnya harus datang langsung.

Ini bukan kejadian pertama. Saya terbang sekitar 50 kali dalam setahun. Terkadang menginap di hotel berbintang lima, terkadang di penginapan biasa di desa, terkadang menumpang rumah warga. Kejadian diatas sudah biasa. Menulis “sudah biasa” membuat saya merasa bersalah karena seolah-olah saya membiarkan saja, dan merupakan bagian kebobrokan tindak korupsi. Yang paling sering terjadi adalah diberikan nota kosong secara otomatis, begitu saja. Sang penjaga/pemilik bahkan tidak bertanya dulu. Bahkan di tempat dimana jelas-jelas ada pengumuman “tidak menjual nota kosong” sekalipun. Ketika saya menjalankan tugas dari kantor, saya tidak hanya membayar untuk saya sendiri, tetapi juga untuk pihak lain yang biayanya ditanggung pula oleh kantor saya. Terkadang jumlahnya sampai belasan orang. Paling lama yang pernah saya jalani dalam satu kegiatan adalah 3 minggu. Bayangkan belasan kamar, tiga minggu. Berapa belas juta tanpa usaha? Korupsi itu mudah bukan? Terlalu mudah.

Situasinya sama dengan rental mobil. Nota kosong sudah bercap. Saya masih ingat betul tatapan pemilik usaha rental mobil ketika saya meminta dia yang menulis nota tersebut, saat saya menolak untuk menulis nota sesuai instruksi dia. Tatapan yang penuh rasa bingung, dan jijik. Oh, dan tawa sinis. Tak cukup disitu, saat saya mendapat amplop berisi nota yang sudah “diisi paksa” tadi, setidaknya satu nota kosong diselipkan didalam amplop. Saya sudah ga bisa geleng-geleng lagi. “Seandainya berubah pikiran”, sang pemilik segera berkata ketika melihat muka saya membuka amplop. Dalam satu kegiatan, saya bisa menyewa lima mobil sekaligus selama hingga tiga minggu. Lag-lagi belasan juta bisa diraup.

Korupsi itu terlalu mudah di Indonesia. Bukankah begitu? Saya harus bilang, menjaga diri untuk tidak korupsi itu sangat sulit. Orang akan bilang, tergantung integritas. Haloooow. Integritas juga ada batasnya, segalanya juga ada batasnya. Saya bisa memegang uang hingga seperempat milyar untuk satu kegiatan. Mengambil sekian puluh juta terlalu mudah. Terimakasih penginapan, terimakasih rental mobil. Satu-satunya cara kalau tergoda untuk korupsi adalah dengan mencari pekerjaan yang lain, yang tidak harus berurusan langsung dengan tindakan yang melibatkan uang. Lah, apa dong?

Apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang melakukan korupsi seperti yang beli nota kosong diatas? Padahal saya tahu betul orang tersebut adalah orang yang sangat relijius, setidaknya setiap kali waktunya ibadah pasti tidak terlewat. Ucapannya pun begitu. Lha, tapi korupsi. Jadi, saya yakin betul hubungan agama dengan tindak korupsi sangat kecil, kalaupun ada. Semua pengalaman ini saya alami dari ujung timur di Papua, hingga ujung barat di Aceh. Sebagian besar orang-orang yang melakukannya juga sudah tidak memiliki tampak bersalah diwajahnya. Seperti melakukan sesuatu yang sudah menjadi norma. Saya juga tidak menerima alasan status ekonomi, karena memang tidak tampak perbedaan, setidaknya dari yang saya amati.

Mungkin penjelasan di sebuah penelitian yang saya baca bisa menjadi salah satu jawaban: keyakinan bahwa korupsi itu umum atau sudah biasa menjadikan seseorang melakukan tindak korupsi. Sehingga seseorang yang dikeliling orang yang korup, akan cenderung korup juga dibandingkan mereka yang dikeliling orang jujur. Pada akhirnya sampai ke teori sosial favorit saya, Granovetter’s threshold model of collective behaviour. Saya bisa gunakan penjelasan ini atas kebiasaan saya download mp3 dahulu. Dan kebiasaan menggunakan windows bajakan. Untungnya Linux dan spotify menyelamatkan saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *