Bagaimana kalau sakit tapi ga bisa minum obat? Diabetes tapi insulin ga tersedia. Mungkin itu yang sedang terjadi di saya. Sejak cedera lutut di hari terakhir 2018, saya ga bisa lari seperti biasa untuk meningkatkan mood. Bukan hanya itu, saya juga mengucapkan selamat tinggal kepada triathlon yang akan saya ikuti, yang sudah direncakan sejak tengah tahun lalu.
Kalau superman butuh matahari, saya butuh lari. Saya masih lari, tapi jauh dari target yang sudah dibuat. Seharusnya sejak awal tahun saya lari 5x seminggu dengan intensitas yang makin naik setiap bulannya. Sekarang mengejar setengah target itu saja sulit. Terkadang baru 300m harus sudah menyerah. Terkadang sanggup sesuai jarak, tapi harus berlari jauh lebih pelan.
Setelah terapi, lumayan sih. Tapi mungkin sekarang ada juga halangan mental untuk berlari. Sudah bangun pukul 5 pagi dan berganti pakaian, tetapi tidak melangkah keluar dari kamar hanya karena panik ga menemukan kaus kaki yang masih bersih di rak sepatu, tanpa berupaya mencari di tempat lain. Walau sudah siap berlari, selalu mencari alasan dan pembenaran untuk berlari.
Berlari itu sangat ampuh untuk saya. Terasa betul mood di hari saya berhasil berlari dibandingkan hari-hari yang gagal berlari. Ketika menyelesaikan target harian, saya seperti telah menekan tombol reset dan bisa menjalani hari dengan ringan. Sehingga, ketika kemampuan berlari itu hilang maka serasa ada yang hilang dari hidup saya, banyak yang hilang.
Saya juga bersepeda, baik itu untuk sehari-hari ke kantor maupun olahraga di akhir pekan dengan jarak yang lebih jauh. Tapi, ada yang berbeda. Mungkin karena perlu kecepatan tinggi agar bersepeda punya efek yang sama. Tetapi, jalanan jakarta tidak memungkinkan saya untuk melakukan itu.