Sangat sulit berada di dekat saya saat saya sedang depresi. Suasana hati saya yang suram, tanpa semangat, dan penuh dengan pikiran negatif bisa mempengaruhi orang sekitar saya. Saya tidak perduli lagi dengan apapun, termasuk kehidupan. Beberapa teman saya tidak ada kabarnya lagi semenjak saya depresi. Bukan salah mereka, inilah depresi. Coba tanyakan saja pada kedua orang tua saya yang setiap hari mencoba menyemangati saya, menyuruh saya beraktivitas, untuk ikhlas, dan terkadang menyuapi saya yang menolak makan. Mama saya selalu bilang sudah ga tahu harus berbuat apalagi agar saya bangkit, sampai pada suatu tahap berhenti menyuruh saya makan.
Orang yang tidak pernah depresi mungkin akan sulit memahaminya. Saya merasa makin depresi ketika orang-orang mengingatkan betapa beruntungnya saya jika dibandingkan orang lain, pendidikan saya, kondisi ekonomi saya, kesehatan saya. Banyak orang lain yang berjuang untuk hidup karena digerogoti kanker, banyak orang lain yang hanya sanggup makan sekali sehari. Hal ini malah membuat saya merasa diri brengsek, karena tidak bisa mensyukuri apa yang saya punya. Bahwa saya pantas menderita depresi. Bahwa itu adalah hukuman karena saya tidak tahu bersyukur. Saya akan dengan senang hati kalau diperbolehkan menukar gelar saya beserta dengan depresi saya dengan kehidupan yang biasa-biasa saja tapi terbebas dari depresi. Saya tahu ini mungkin tidak adil bagi mereka yang mencoba menyemangati saya, karena mereka mencoba membantu. Tapi ini suara depresi saya. Ia telah mengambil alih kendali atas pikiran saya. Senada dengan saya, teman-teman yang pernah depresi pun mengakui hal yang sama.
Lebih jauh lagi, saya menjadi merasa bersalah. Karena saya tahu semua orang berniat baik. Ingin membantu. Tapi saya tidak berkutik menahan rasa ini. Saya merasa teman saya telah keliru menilai saya. Betul, banyak yang kelaparan di luar sana. Tapi itu ga membuat depresi saya lebih baik. Depresi saya tetap nyata. Ini bukan karena saya tidak merasa beruntung. Bukan karena saya ga pernah bersyukur dalam hidup. Bukan karena saya tidak tahu banyak yang jauh lebih menderita. Saya masih sadar. Saya belum gila. Perasaan bersalah saya kembali memperburuk kondisi saya. Saya berkata pada diri saya untuk sembunyi saja biar tidak salah dinilai lagi, biar saya tidak merasa bersalah lagi. Pada akhirnya, saya semakin menyendiri.
Lalu bagaimana menolong saya dan orang-orang depresi yang lain? Cukup ucapkan kata-kata berikut: “kalau kamu butuh bantuan, aku bersedia”. Lebih baik lagi kalau sering diulang-ulang, membuat saya mempertimbangkan untuk meminta bantuan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengajak saya beraktivitas. Sayangnya saya tidak akan setuju pada ajakan pertama. Sial, dasar depresi! Saya sudah diajak untuk lari sejak tiga minggu yang lalu, baru akan terwujud minggu ini. Meminta bantuan saya juga opsi yang baik. Loh koq malah minta tolong kepada saya yang sedang depresi? Memberikan pertolongan, seberapa kecilnya pun, membuat saya merasa diri masih berharga, masih berguna, masih dapat membuat perubahan pada hidup orang lain. Setelah sebulan mengurung diri di kamar saya akhirnya keluar rumah karena teman saya terus-terusan meminta tolong statistik. Opsi lain lagi, datangi saya, dimanapun saya berada. Saya menunda bunuh diri saat di Swedia karena di balik pintu ada teman saya yang mengetuk pintu. Saya kemudian tertidur karena teman saya tidak kunjung pergi.
Saat ini saya memang sudah merasa jauh lebih baik. Saya sudah tidak memenjarakan diri di kamar. Saya keluar rumah hampir setiap hari dalam sepuluh hari terakhir. Entah hanya untuk bertemu teman karena banyak teman yang mengajak bertemu. Ataupun untuk sesuatu yang lebih serius seperti memberi kuliah. Ini semua karena pesan-pesan teman saya yang begitu banyak akhir-akhir ini.
One Comment
yong 8 years ago
gue pernah di fase ini