Pada saat membicarakan gangguan jiwa, ada tiga kemungkinan yang terpikir oleh kebanyakan orang. Salah satu yang paling sering tergambarkan adalah manusia tanpa pakaian berjalan tanpa malu di jalan raya. Kemungkinan lain adalah manusia yang dipasung atau dikurung dalam kandang binatang. Hal ini pernah diangkat salah satu media online besar boredpanda tentang potret gangguan jiwa di Indonesia. Berita ini viral di medsos Indonesia. Mungkin dari gambaran seperti ini asal muasal gangguan jiwa sering disederhanakan dalam satu kata: “gila”, atau kata yang sedikit lebih sopan: “orang stress”.
Mati karena bunuh diri menjadi hal berikutnya yang biasa muncul di media. Bagaimana tidak, sepanjang 2017 ada banyak berita bunuh diri. Mulai dari Chester Bennington, Jong-hyun, peristiwa apartemen gateway, hingga tetangga satu gedung saya di salah satu apartemen di Jakarta. Selain bunuh diri, ada juga orang tua yang membunuh bayinya. Pokoknya ada orang yang berakhir mati. Ketiga narasi ini adalah yang paling umum kita tahu soal gangguan jiwa.
Saya membuat vlog di youtube tentang bagaimana rasanya bunuh diri. Video ini mungkin membuat kaget banyak orang dan mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa saya mempermalukan diri seperti itu. Selain kepengen eksis sebagai anak zaman now, alasan saya membuat video ini erat kaitannya dengan narasi gangguan jiwa yang sebagian besar orang tau. Saya ingin menawarkan beberapa narasi baru kepada khalayak ramai.
Narasi baru yang pertama adalah mengenai penyintas atau survivor. Saya seorang penyintas. Seperti saya tulis diatas, banyak sekali berita orang mati bunuh diri. Jarang sekali berita memuat penyintas seperti saya. Baiklah, kita bisa hitung tragedi percobaan bunuh diri di bandara di Bali beberapa waktu lalu sebagai berita penyintas bunuh diri. Selain karena mati bunuh diri lebih potensial menjadi berita yang hangat, sepinya berita tentang penyintas dikarenakan memang hampir semua penyintas tidak diketahui. Secara statistik satu nyawa meninggal setiap 30 detik karena bunuh diri. Memasak mi instan butuh waktu 3-5 menit, jadi bayangkan sendiri saja ya. Angka yang sangat besar. Tapi ternyata penyintas jauh lebih banyak 20 kali lipatnya. Betul, mereka yang mencoba bunuh diri lebih tinggi 20 kali lipat dari yang mati karena bunuh diri. Belum lagi kalau memperhitungkan mereka yang punya pikiran bunuh diri tapi belum pernah mencoba bunuh diri. Saya termasuk kedalam yang mencoba bunuh diri tapi terselamatkan. Kita perlu menambah narasi penyintas ini.
Narasi yang kedua masih berkaitan dengan narasi pertama. Semua orang bisa pulih dari gangguan jiwa. Kenyataannya saya bisa melewati periode percobaan bunuh diri dan pikiran bunuh diri, walaupun memang membutuhkan waktu yang lama dan dukungan tanpa henti dari keluarga, teman, dan dokter saya. Sayangnya ga ada pacar, hiks. Sebelum video ini mungkin sebagian besar orang tidak tahu bahwa ada banyak penyintas diantara kita. Para penyintas tidak pernah membicarakannya karena begitu tabu untuk bicara soal gangguan jiwa. Saya bukan hanya berhasil survive, tetapi juga kini punya pekerjaan hebat dan diwaktu luang aktif melakukan kampanye tentang kesehatan jiwa. Harus ada yang memulai berbicara secara terbuka tentang gangguan jiwa, mencoba menjadikan ini sebagai obrolan yang walaupun sulit tetapi layak. Ya, bisalah jadi bahan obrolan saat sarapan gorengan dan cabe rawit di pagi hari. Setidaknya itu yang terkadang saya lakukan di kantor saya. Ini kisah nyata lho, bisa tanya ke teman kantor saya.
Pikiran bunuh diri lebih banyak terjadi pada perempuan. Perempuan pun lebih banyak mencoba bunuh diri daripada laki-laki hingga empat kali lipat. Walaupun begitu, kematian karena bunuh diri lebih tinggi hampir dua kali lipat pada laki-laki. Di negara maju malah perbedaannya sampai tiga kali lipat. Ini karena ada konstruksi sosial yang mengatur laki-laki harus bersikap “cowok banget”. Laki-laki harus “macho”, keren, dan kuat. Pada akhirnya laki-laki cenderung tidak mencari bantuan untuk masalah yang dihadapi. Sepertinya haram banget buat cowok untuk curhat, apalagi curhat ke sesama cowok.
Para pria tidak pernah kekurangan panutan macho dan sukses. Ada Ronaldo yang selalu mempertontonkan kekekaran ototnya atau Will Smith dengan gaya “nge-rap” yang asik banget. Oleh karenanya, saya sengaja tidak membuang bagian dimana saya menangis dalam video. Saya menawarkan diri menjadi panutan tambahan sebagai laki-laki yang mewek dan rapuh. Sepertinya panutan yang seperti ini belum ada, kecuali kamu mau menghitung adegan Song Joong-Ki sebagai tentara perdamain yang kerap kali mewek dalam drama Korea Descendants of the Sun. Saya mau menunjukan bahwa tak mengapa laki-laki menangis. Sejauh ini, itu tidak membuat nilai saya menjadi rendah di mata teman-teman saya. Saya kasih tahu ya. Menangis sampai tersedu-sedu itu sangat memuaskan dan memberikan rasa lega. Seringkali, saya mendapatkan energi baru untuk menghadapi masalah saya setelah satu atau beberapa episode penuh air mata. Saya menyesal saya baru tahu soal ini. Dan ini adalah narasi terakhir yang ingin saya sampaikan melalui vlog saya. Jika para kaum pria sudah tidak takut untuk menangis, harapannya bisa kemudian mencari pertolongan sebagai langkah berikutnya.
Ketiga narasi baru yang saya tawarkan secara kolektif merupakan narasi untuk harapan. Harapan untuk bisa pulih dari gangguan jiwa. Semoga bisa melahirkan generasi baru laki-laki mellow. Peluk hangat untuk kita semua.
One Comment
Ima 6 years ago
Hallo kak, aku nangis nonton video kakak. Aku juga penyintas bunuh diri, setahun setengah aku selalu nyoba bundir sekitar 4kali namun gagal terus.
Sama kayak kakak, dari luar orang mungkin liatnya hidup kita normal banget bahkan terkesan wow dimata sebagian orang. Tapi apa yg terlihat gak selalu sama dengan apa yg sebenarnya terjadi.
Bagian paling susah adalah saat bicara keorangtua kalo aku depresi dan butuh pertolongan, saat udah berobat pun masih sulit buat maju kedepannya.
Kalo kakak udah lulus aku malah kebalikan, mulai depresi justru pas mau skripsi akibatnya yah kuliah ngaret sampe sekarang, rasanya saat mau maju kayak ada semacam jerat gitu ya kak?