Back to blog

Perbedaan depresi dan sedih

12 April 2016 - Posted in depresi Posted by:

Ini merupakan tulisan kedua dari sebuah seri tentang gejala depresi. Tulisan sebelumnya tentang mati rasa dapat dibaca pada link berikut: mati rasa.

Kriteria klinis untuk depresi mayor harus terdapat mati rasa atau mood depresi. Perjalanan depresi saya sebenarnya dimulai dengan mood depresi, tetapi kemudian mati rasa berkembang setelahnya.

Depresi sebagai sebuah mood atau suasana hati berbeda dengan depresi sebagai diagnosa klinis. Depresi klinis bisa disertai dengan mood depresi atau mati rasa, jadi tidak harus selalu ada mood depresi. Depresi sebagai sebuah mood juga berbeda dengan kata depresi yang sering digunakan untuk menggambarkan perasaan sedih. Mood depresi lebih dari sekedar rasa sedih.

Karena depresi sering dikaitkan dengan rasa sedih, seringkali sulit dibedakan antara perasaan sedih yang normal dan mood depresi. Sangat penting untuk membedakan keduanya karena mood depresi membutuhkan pertolongan.

Sedih merupakan emosi yang normal. Semuanya pernah merasakannya. Saya sedih ketika mendapat IP hampir nasakom di tahun pertama kuliah saya. Saya sedih ketika nenek saya meninggal. Saya sedih ketika tidak dibelikan game baru untuk sega saya. Perasaan sedih biasanya dipicu sesuatu yang sulit, menyakitkan, atau mengecewakan. Dengan kata lain, kita sedih akan sesuatu. Sehingga pada saat sesuatu itu berubah, rasa sedih itu pun berkurang atau berubah. Rasa sedih pun berhenti.

Mood depresi merupakan sesuatu yang tidak normal. Saat saya depresi saya sedih akan segala hal. Tidak perlu ada pemicu mood depresi. Bisa timbul tiba-tiba. Depresi saya pada awalnya dipicu sekumpulan kejadian yang menyakitkan. Tetapi saat saya mengalami relaps, tidak ada pemicu sama sekali. Saya tiba-tiba depresi kembali.

Rasa sedih yang dipicu akibat seseorang meninggal dunia atau bencana finansial biasanya luar biasa dan sulit dibedakan dengan mood depresi. Tetapi menurut saya ada beberapa hal yang membedakannya. Pertama rasa sedih bisa dihibur. Misalnya dengan mengingatkan untuk bersyukur, bahwa masih banyak orang lain yang kehidupannya jauh lebih buruk. Saat saya mendapat IP hampir nasakom, saya masih bisa menghibur saya dengan berpikir bisa diperbaiki saat semester pendek, dan ada beberapa teman yang juga sama nasakom. Merasa ada yang senasib. Coba hibur saya saat saya depresi. Saat mendapatkan pekerjaan atau uang pun saya tetap merasa mood saya depresi. Orang tua saya, kakak saya, teman-teman mencoba menghibur saya sedemikian rupa. Saya tetaplah depresi. Saat orang mengingatkan saya untuk bersyukur atau tentang kelaparan di afrika, saya tidak menjadi lebih baik. Justru sebaliknya. Saya malah menjadi semakin depresi. Saya makin membenci diri saya sendiri karena tidak bersyukur.

Kedua, rasa sedih berkurang seiring berjalannya waktu. Beberapa ahli memberikan batasan dua minggu untuk rasa sedih. Sementara mood depresi bisa bertahan lama. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bisakah kamu bayangkan memiliki mood depresi selama berbulan-bulan? Pada periode depresi pertama saya, saya mengalaminya selama lima bulan. Selama lima bulan tersebut mood saya selalu rendah, tidak naik ataupun turun. Seperti seseorang yang kehilangan keluarganya setiap minggu.

Ketiga, mood depresi biasanya disertai dengan perasaan putus asa. Memang rasa sedih juga bisa disertai putus asa. Tapi ini berbeda. Dalam tulisan saya sebelumnya saya menggambarkan ini seperti berada di dasar sumur terdalam. Saya merasa saya tidak akan pernah bisa keluar dari sumur tersebut. Saya merasa tidak memiliki masa depan dan hidup saya diselimuti kegelapan selama-lamanya. Diujung lorong tidak ada cahaya. Saya merasa apa yang saya perbuat dan saya pikirkan tidak ada artinya lagi, karena tidak akan merubah hidup saya. Putus asa saya berubah menjadi ketidak berdayaan, saat saya merasa tidak lagi mampu membuat keputusan untuk tetap hidup. Ketidak berdayaan ini membuat saya diam saja menunggu dunia berakhir. Saat saya menyatadari dunia tidak akan berakhir, saya merasa sayalah yang harus berakhir. Inilah hal yang membuat saya hampir bunuh diri saat di Swedia dan di Indonesia. Saya hanya ingin ini berakhir.

Bagaimana caranya melawan mood depresi?
Saya merasa lebih tenang ketika ada yang mau mendengar cerita saya tanpa judgement. Saya beruntung ketika saya membuka diri tentang depresi saya justru saya mendapatkan banyak teman untuk bercerita. Jujur. Hanya perlu didengarkan. Tidak perlu memberikan saran. Saya juga beruntung psikiater kedua saya ternyata pendengar yang baik. Semua cerita saya dia tulis dengan detil. Berbeda dengan psikiater pertama saya yang hanya menulis di akhir wawancara jadi ketika saya datang lagi harus mulai cerita dari awal lagi.

Pelukan. Di keluarga saya tidak biasa saling memeluk. Dengan teman-teman di Indonesia juga tidak biasa berpelukan. Jadi saat mama saya tidur disebelah saya, memeluk saya, saya merasa lebih baik. Pun saat saya dipeluk teman saya, rasanya sebagian kesedihan saya menguap. Jangan mengira lebih baik ini seperti orang sedih yang bisa tersenyum setelah dihibur. Yang saya sebut merasa lebih baik ini hanya sekedar menunda upaya bunuh diri. Untuk bertahan satu malam lagi. Perbaikan pada depresi tidak pernah tiba-tiba, selalu perlahan.

Saya seseorang yang sulit untuk menangis. Jadi periode depresi saya tidak banyak ditandai oleh tangisan. Orang lain mungkin berbeda, dan sering menangis saat merasa sedih. Saya tidak. Jadi ketika saya menangis pada waktu saya mengalami relaps, saya merasa lebih cepat pulih. Periode relaps saya waktu itu tidak sampai dua bulan. Pada saat menangis saya merasa amat sedih, jauh lebih sedih dibandingkan periode depresi saya. Tapi setelah saya menangis, saya merasa jauh lebih baik. Jadi meluapkan emosi dengan cara menangis atau marah-marah bisa dijadikan sarana untuk keluar dari mood depresi. Disini diperlukan caregiver yang memahami bahwa amarah dan tangisan seorang penderita depresi hanya sekedar upaya untuk keluar dari kesedihan.

11 Comments

Zu 8 years ago

Salam kenal Kak. hello… saya senang sekali menemukan blog ini. saya juga seorang yang mengalami depresi yang memutuskan untuk bertemu dengan psikiater baru-baru ini. Sekarang masih dalam kondisi kambuh. tapi tidak seperti yang dulu. Selama setahun, saya bisa menghabiskan setengah tahun untuk meratapi nasib dan mempertanyakan kenapa saya bisa menjadi seperti ini. Selain perasaan sedih, murung, tidak semangat, marah terutama pada diri sendiri, saya juga mengalami gejala psikosomatis yang parah. saya beberapa kali ke dokter dan hanya diberi vitamin dengan diagnosa saya cuma kelelahan. Saya juga sempat ke dokter mata karena nyeri dan cuma dikasih vitamin A karena mata saya sehat. Saya juga pernah berfikir menginjungi spesialis syaraf karena sakit terutama hampir semua bagian tubuh saya.
Saya biasa mengisolasi diri 2 atau 3 bulan di rumah yang cuma saya tinggali sendiri dan sangat mendukung untuk mengurung diri ketika depresi saya dalam fase puncak. dalam 2 tahun terakhir saya mulai mencari tahu tentang kaitan antara pengaruh psikologis dengan gejala sakit pada fisik saya, saya mulai menyimpulkan beberapa gejala yang sesuai dengan kondisi saya. Hasilnya, saya memang depresi, kemungkinan besar depresi mayor atau distimia dengan adanya beberapa kali episode depresi mayor. Kondisi nyeri saya lebih mirip fibromyalgia….mungkin ( saya bukan dengan latar belakang kesehatan juga, hanya membaca :). Sekarang saya sudah merasa baik, walaupun masih dalam perasaan tak menentu, lelah, insomnia sekali2, dsb

Saya hanya berharap hidup nyaman dan lepas tanpa merasa ada yang mengikat. Terutama bagi yang memiliki pengalaman sama seperti saya, Aminn….

Reply

endri 8 years ago

Saya panggil apa nih, Zu? Halo Zu, salam kenal. Kamu di Bandung ga? Atau di Jakarta? Ketemuan yu. Ya ngopi santai aja. Saya tinggal di Bandung tapi dalam waktu dekat akan pindah ke Jakarta.

Reply

endri 8 years ago

Oh lupa, saya bisa dihubungi di nomor whatsapp 081322247454

Reply

Zu 8 years ago

Sayang sekali kak, saya di Padang :)…. sayangnya juga hp saya baru hilang, jadi whatsaap nya gk aktif lagi.. diganti sama hp lama… .

Reply

l 8 years ago

Hi Endri,

Sejak saya ke psikolog dan memahami bahwa saya depresi dan sudah hidup dengan depresi + psikosomatis sejak usia remaha, saya juga jadi bisa mengenali mood depresi.

Tapi sekarang kadang saya terpikir antara menyesal dan tidak menyesal karena sudah ke psikolog. Karena diagnosa, saya jadi sensitif dengan keadaan emosi saya dan kondisi mental saya.

Saat ini saya sedang dalam kondisi mood depresi, dan yang ada di pikiran saya, “Apakah saya cuma mengada-ada yang tidak ada hanya karena pernah didiagnosa psikolog? Apakah sebenarnya saya sudah sembuh dan tidak depresi lagi, namun karena terapis saya membuat sadar bahwa saya depresi sejak remaja, saya jadi membuat diri saya seakan-akan masih depresi?”

Apalagi membaca komentar dari Zu. Kondisi psikosomatisnya jauh lebih parah dari saya. Saya jadi merasa, apakah saya mengada-ada. Apakah saya hanya berlebihan?

Sekarang saya tidak ke psikolog lagi, karena saya merasa bisa menangani depresi saya. Saya sudah tahu bahwa yang saya perlu lakukan hanyalah menunggu hingga mood depresi saya hilang. Karena mood seperti ini selalu datang setiap bulan. Tidak pernah absen.

Selama saya tidak mengalami kejadian menyedihkan, saya bisa menangani kondisi ini.

Tapi, saya sudah nggak bisa curhat lagi ke siapa-siapa. Karena saya takut teman-teman saya lelah menghadapi saya. Saya takut teman-teman saya bosan melihat saya begini. Karena kondisi seperti ini sudah berlangsung dalam hitungan tahun.

Selain itu, semakin ke sini, saat mood depresi datang, saya lebih ingin sendiri. Dulu pelarian saya alkohol. Saya pasti akan mabuk-mabukkan saat sedang mood depresi. Tapi sekarang saya memilih untuk hidup lebih sehat dan berhenti minum alkohol.

Ini saya komentar cuma karena lagi mau curhat aja… Hehehe… Saya nggak tahu harus sharing sama siapa.

Reply

Leave a Reply to Zu Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *